Bermula pada keisengan mengutak-atik kata. Saat itu tersebutlah nama
“zen” (panggilan temen-temen) yang kebanyakan dari jenis Hawa dan “nal” dari
golongan (panggilan temen-temen) dari jenis Adam. Semenjak itu dia mempunyai
inisiatip untuk memberikan nuansa dari nama panggilannya, dipikir-pikir OKE
juga kalo misalnya namanya sedikit diubah agar sedikit “gaul” akan tetapi tidak
merubah arti dari nama yang sudah diberikan oleh pamannya tersebut. Dia juga
sadar donk kalo nama itu adalah sebuah doa, makanya dia ingin selalu tetap
didoakan oleh temen-temen yang memanggil namanya dan stay cool…hehee,
ZEIN AL – ABIED, lahir di Bangkalan, 3 Januari 1984, dari
kecil dia suka bermain ya layaknya anak kecil, tapi juga sering usil suka
memanggil nama-nama temennya dengan seenak hatinya. Walaupun temen-temen (yang
dipanggilnya) itu sedikit merasa tersinggung atau kadang-kadang sampai marah
bahkan ada yang sampai nangis, namun dia tetap adalah teman yang baik yang
selalu mencerahkan suasana karena pembawaan karakternya yang unik, lucu,
periang, cerdik dan sekali-kali menjengkelkan. Kini, walau sudah beranjak
dewasa masih saja terbawa oleh sikap dan pembawaannya yang unik tersebut,
seakan-akan dia tidak mau melepas atau kehilangan masa kecilnya, buatnya masa
kecil itu adalah masa yang paling membahagiakan. Jadi, kalau masa kecil
terlupakan bagaikan kehilangan kebahagiaannya seperti kata pepatah “masa kecil
kurang bahagia”, dan yang paling menarik pada masa kecil itu adalah rasa ingin
tahu yang tinggi dan rasa ingin mengenal yang pasti apa yang dilihat oleh
pikirannya yang polos, suci tanpa sedikitpun terlintas pikiran negatif (karena
pada masa itu adalah masa pembentukan karakter) istilahnya selembar kertas
putih bersih tanpa coretan setitikpun yang siap untuk diwarnai.
Bicara tentang warna ni, dia suka warna yang dominan yang sesuai pada
jamannya, misalnya di tahun ini warna yang paling banyak disukai adalah warna
merah maka dia suka warna tersebut, bukan ikut-ikutan sih tapi berusaha untuk
beradaptasi pada gejolak yang ada, bukankah dalam pemilihan itu yang menang
adalah yang dominan?. Tidak ada warna yang tidak ia sukai, warna adalah bagian
dari hidupnya, warna adalah anugerah dari yang kuasa, bunglon pun merubah warna
tubuhnya untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman. Makna warna dibalik tanggal
lahirnya adalah orange, yang artinya pribadi
yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, tahu bagaimana memperlakukan
orang lain, memiliki tujuan dan bekerja keras untuk meraihnya bahkan tak segan
bersaing untuk meraih tujuannya, sahabat dan teman adalah sesuatu yang sangat
penting baginya, menghargai apa yang dia miliki meskipun cenderung bereaksi
berlebihan dengan rasa sensitifnya. Emang sih dia itu orangnya sensitif mudah
tersinggung. Tapi, kalo dilihat dari karakternya yang lumayan cerdik dia bisa
menepis rasa sensinya dengan rasa yang lumrah sehingga dia mampu merubah hati
untuk tetap menghargai perasaan-perasaan yang timbul, dia lebih memilih diam
dan berpikir untuk menghadapinya daripada berujung pada permusuhan (seperti
anak kecil tapi tetap dewasa dalam mengambil keputusan) sehingga suasana
menjadi reda, damai dan selalu menanggapi dengan apa adanya, sabar adalah
kuncinya.
ZEIN AL – ABIED, bercita-cita ingin seperti Abu Nawas. Konon,
dalam cerita beliau adalah sosok yang sangat pandai, cerdik dan unik. Dalam
kalangan rakyat biasa beliau biasa saja, namun sangat disegani oleh rajanya
karena kepiawaiannya dalam mencari solusi, tak hanya itu juga keberanian beliau
dalam menyampaikan kebenaran dan keadilan serta berani menanggung resiko bahkan
nyawa pun jadi taruhannya. Beliau juga menyukai seni, syair dan beliau adalah
sosok yang taat beragama hingga pada saat menjelang wafatnya; doanya sampai
sekarang masih terpahat erat di hati umat manusia yang berbuni : “Ya Ilahi, aku tidak layak mendapat syurga
firdaus-Mu, juga aku tidak sanggup berada di neraka jahim. Maka, terimalah
tobatku, ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Pengampun segala dosa-dosa…”
begitu sangat bijaknya beliau bahkan dalam berdoapun kebijakannya terlihat
jelas, sederhana dalam hidupnya dan kepandaiannya telah merubah negeri 1001
malam menjadi sebuah sejarah yang tak terlupakan sepanjang masa.
Dari tahun 1999, Zein Al – Abied memulai mencari jati dirinya.
Saat ia berniat dan berkomitmen pada dirinya sendiri suasana menjadi lain
seakan tersentak dan terbukalah tabir kehidupan baru. Sejarah akan dimulai dan
akan menghiasi masa peralihan diatas peradaban era globalisasi. Walaupun dunia
belum mencatat sejarah ini, baiklah tidak apa-apa semoga ada yang mencatatnya
sebagai bagian dari berbagai perjalanan hidup di masa yang akan datang.
Tahun 2000, Zein Al – Abied menemukan prinsip hidupnya,
satu kata termaktub dalam kalbunya “Berjuang Untuk Perubahan” untuk meraih
sesuatu dibutuhkan sebuah perjuangan dan doa, maka akan terciptalah sebuah
perubahan. Nah, dari sinilah ia menghendaki adanya perubahan yang dimulai dari
merubah dirinya sendiri. Berharap kelak akan ada yang mengikuti dan akhirnya
dapat merubah dunia.
Tahun 2001, Zein Al – Abied menuntut ilmu yang bermanfaat
untuk bekal di dunia dan akhirat. Ia mencari sosok guru yang alim serta bijak
yang disegani oleh para muridnya dan masyarakatnya untuk sebagai tauladan dalam
menapaki kehidupannya kelak. Ia masuk pondok pesantren di Jawa Timur. Semoga Allah
SWT meridhai dalam perjalanannya/ mengarungi samudera kehidupan. Amin…
Tahun 2002, Zein Al – Abied merasakan getaran hebat dalam
dirinya saat mendapatkan amanah dari ilmu yang didapat dari gurunya, perpisahan
tak terelakkan. Kini, ia harus menjalani kehidupannya sendiri dan mengamalkan
ilmunya secara mandiri dengan berpegang teguh pada prinsip yang telah termaktub
dalam hati. Dan gurunya berkata
“sekarang gurumu adalah dirimu sendiri dan alam sekitar”
Tahun 2003, Zein Al – Abied memohon doa restu pada kedua
orang tuanya untuk melanjutkan perjalanan. Demi sebuah cita-cita dan amanah
yang dipikul di pundaknya. Dalam hal ini ia bertekad untuk menimba ilmu di kota pelajar yakni Yogyakarta.
Keramahan telah menyambutnya.
Tahun 2004, Zein Al – Abied belajar ilmu seni, ia yakin
bahwa seni merupakan titik dari kekuatan seseorang dalam meraih sebuah
pengakuan. Karena seni adalah bahasa yang murni keluar dari kejujuran hati
nurani manusia, seni tidak akan pernah berbohong, seni selalu menutupi dan menyembunyikan
jati dirinya. Perlu usaha keras dan pemikiran yang dalam untuk mengungkap
kejujuran dari sebuah hasil karya seni.
Tahun 2005, Zein Al – Abied mengenal seni musik saat
mendengar alunan musik bernuansa religi dari group musik GIGI. Oh betapa indah
dalam merasuki hati-hati. Musik ini membuat perubahan terungkap pada makna
dalam setiap nada dan lirik yang disampaikan. Dari sini ia mengidolakan GIGI
sebagai bentuk alternatif kekaguman terhadap seni yang dibuat oleh anak
manusia. Namun daripada itu ia sangat mengagumi pada yang menciptakan alam
semesta ini, tak akan ada yang bisa mengalahkan kekagumannya terhadap Allah
Yang Maha Indah.
Tahun 2006, Zein Al – Abied hijrah ke kota lain. Dimana ia ingin mengadu nasib
untuk perubahan namun usahanya gagal, kandas di tengah jalan. Kemudian ia
kembali ke kota kelahirannya untuk berdikari dan mengevaluasi diri serta
menyiapkan hati untuk berjuang kembali.
Tahun 2007, Zein Al – Abied kembali mengarungi hidup di kota pelajar. Keramahan
kembali menyapa, namun tak banyak yang ia perbuat seolah hanya jadi penonton
saja karena saat itu perannya membangun kembali keadaan yang sempat goyah,
terguncang oleh perasaan negatif, saat itu Jogja juga ikut bergoyang.
Tahun 2008, Zein Al – Abied bertemu dengan sang idola dan
sang kekasih, Sekian bulan dijalaninya dengan penuh harapan, cita-cita telah
terurai dengan bingkai kata manis seolah tiada aral yang melintang di depan.
Namun, rasa jenuh akan ketidakpastian itu yang menjadi benalu dalam hatinya.
Seiring berjalannya waktu terlepas sudah tali penyambung kasih itu. Lambat laun
semakin lenyap dan lenyap.
Tahun 2009, Zein Al – Abied hidup dalam kesendirian,
merenung, mencari harapan yang telah musnah. Cinta pergi bukan hal yang baru
baginya, wataknya yang periang dapat menghiburnya walau hatinya teriris dia
mampu menyembuhkannya, karena baginya hidup di dunia bukanlah prinsip untuk
mengejar tetapi hidup di dunia adalah mencari sampai pada titik temu yang
menyempurnakan.
Tahun 2010, Zein Al – Abied kembali berjuang dengan berevolusi
mencari harapan, berdiri di pusat peraduan melihat kenyataan dari balik layar
yang telah terkembang. Seolah dialah sang nahkoda kapal yang siap melaju
membimbing para ABKnya menuju pelabuhan di pulau cinta. Tak disangka pulau itu
telah berada di daerah barat daya, Sleman.
Tahun 2011, Zein Al – Abied mengukir kisah cinta dengan
seorang putri yang menjadi tambatan hatinya. Hari-hari bagaikan bunga yang
bermekaran sejuk dikala mata memandang, hujan tropis menambah keelokan sang
bunga. Benih-benih cinta tertanam di serambi hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar