Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan,
adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali
Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah
Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau
dikenal dengan “Kiai Asror Keramat”, dinisbatkan pada kampung beliau.
Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi “Asror Karomah”, mungkin
dalam rangka meng-arab-kan kalimat “Keramat”. Beliau menurunkan
ulama-ulama besar Madura dan Jawa.
Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim,
ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara
mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama
aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka
dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab
pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).
Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan
melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai
Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah.
Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Sa’diyah
dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.
Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i keliling. Beliau menjalani
kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi
sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu
beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.
Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki
kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai
Maryam: “ Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu.
Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku
mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana
biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana
tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian
sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil
lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.
Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi, di sebuah
lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke
Palestina untuk menjalankan tugas da’wah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini,
seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil,
padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak
seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam,
sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah
yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya
sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa
keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat
untuk berda’wah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di
peraduan abadi bersama para leluhur mereka.
Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah
pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai
Maryam dan putra sulung beliau itu.
PENDIDIKAN
Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, mulai merawat dan mendidik
Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama.
Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam
berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Kholil kecil
dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih
pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu.
Tidak beberapa lama kemudian setelah Kholil kecil mondok di Bunga,
terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya, suatu ketika Kiai
Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena sudah waktunya
shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul “berkat” (makanan oleh-oleh
kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat.
Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di musholla pesantren bersama santri-santri beliau. Ketika sedang shalat
itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa cekikian di belakang Kiai
Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya dengan nada marah
“Siapa yang tertawa tadi?” Maka berkatalah salah seorang santri: “Ini,
Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.” Setelah selesai dzikir, Kiai
Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil itu.
Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras
seraya berkata: “Jangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan
bergurau!”. Maka Kholil kecilpun berkata: “Tapi, Kiai, saya tidak
bergurau, kok. Saya tertawa karena saya melihat Kiai shalat sambil
berjoget dan di kepala Kiai ada bakul nasinya.” Mendengar kata-kata
Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut dan heran, beliau
teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang memikirkan
nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi
berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau
sedang sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain
nasi berkat itu. Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil
kecil bukanlah anak sembarangan. Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak
beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk Menemui Kiai Kaffal. Setibanya di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh langsung berbicara mengenai Kholil kecil.
“Kiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak siapa?” Tanya Kiai Sholeh.
“Dia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul Lathif. Jadi dia adik ipar saya, saudara istri saya dari lain ibu.” Jawab Kiai Kaffal.
“Lalu di mana Kiai Abdul Lathif sekarang?”
“Tidak tahu, Kiai, beliau memang jarang pulang, beliau suka keliling ke
kampung-kampung untuk berda’wah. Beliau menyerahkan Kholil kepada kami.”
“Kiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain yang lebih mumpuni dari saya.”
Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga. Tidak beberapa lama kemudian
Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di
asuh oleh Kiai Asyik. Beberapa tahun kemudian, Kholilpun sudah
menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang
diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di Pesantren
Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Setiap
berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak
kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun
pulangnya, beliau membaca yasin empat puluh kali. Tiga Pesantren itu
adalah tempat-tempat belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan
akurat dan shahih. Selain itu, ada beberapa riwayat bahwa beliau juga
pernah mondok di dua tempat lain, yaitu Pesantren Langitan dan Pesantren
Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin Abdul Lathif bin Muhammad
Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai Thoha Kholili, dua
Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat belajar Syekh
Kholil. Waalahu a’lam. Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang aneh
pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal
aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif,
namun Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai
Kaffal. Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa
pada Kholil kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal,
namun Kiai Kaffal justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi
Kholil kecil. Sampai usia remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di pesantern.
Selama di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan
sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau
nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai. Karena beliau
banyak memanfaatkan waktu untuk belajar, beliaupun tidak sempat bekerja
cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan akibatnya beliau harus
makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan sisa, makanan
basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya. Sebenarnya,
hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena beliau
memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup
mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu,
walaupun beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain, namun tidaklah memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak
kalah bersahaja dari pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau
berkecukupan. Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah.
Dalam buku “Surat kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis bahwa
sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi.
Saifur Rachman Berkata: “Inilah Pesantren Kiai Kholil yang ditempuh di
Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah tersendiri.
Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil
santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga
sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di
persembahkan pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri
menjalani kehidupan prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai,
mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya.
Bahkan Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya.
Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma.
Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk
melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan
kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil sebagai
bekal belajar di Makkah.
Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh sesepuh keturunan Syekh Kholil
sendiri. Namun hal itu masih dalam kategori “mungkin”. Kalau riwayat ini
benar, maka riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh
Kholil, bahwa pada suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam,
tiba-tiba Syekh Kholil Berkata: “ Kak, saya mau pamit berangkat ke
Makkah.”
“Mau berangkat kapan, ‘Lil?” Tanya Nyai Maryam.
“Sore ini, kak.” Jawab Syekh Kholil singkat.
Sebenarnya ini suatu hal yang aneh, karena setahu Nyai Maryam, Syekh
Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke Makkah, apalagi dengan
mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa mendapati hal yang
aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja dan tidak
menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata:
“Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, ‘Lil. Kamu makan dulu
sebelum berangkat.” Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah
makanan siap, Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke
Makkah. Menurut penuturan Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah
Barat dan Nyai Maryam menatap kepergian beliau sampai beliau tak
terlihat.
Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh Kholil berangkat naik apa dan
dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik kapal dari Kamal atau
dengan cara lain. Wallahu a’alam
DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Selama
dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan
mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca
Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan
wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus
sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan
teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai
ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi.
Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan
prihatin tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering
makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya.
Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus
selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman
seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang
Kabau dan Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air
besar, Kholil tidak pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah Haram.
Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang
dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal
lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama
belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna
putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai
risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah
dan menjualnya seharga 200 real perkitab.
Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk
menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian
dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat
sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah
adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang
dikaguminya.
Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu
dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga
mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat
guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul
Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib
mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua
thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad
Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan.
CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL
Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:
1. Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya
kehidupan saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan
harapan Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat
membuktikan keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup
yang serba kekurangan.
2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhu’ dan peka terhadap Allah.
3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru, tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada guru, untuk membantu dan membuat
guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk diperintah melebihi
budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap dipertaruhkan
untuk guru.
4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar. Dengan menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu
yang banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau
mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali
Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka
empat hal itulah kuncinya.
GURU-GURU SYEKH KHOLIL
DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis:
“Muhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru kepada Syaikh
Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak
sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan
Naqsyabandiyyah.
Menurut Abah Anom, seorang mursyid Thariqoh Qodariyyah wan
Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim menyebarkan Thariqot
di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di Madura. Tentang
keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara ulama. Namun
menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset penjelasan
murid Kiai Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai Kholil
adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah.
Dengan demikian silsilah Kiai kholil dalam kemursyidan thariqoh
Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh Ahmad Khatib Sambas
adalah sebagai berikut :
1. Allah SWT Rabbul Alamin.
2. Jibril AS.
3. Nabi Muhammad SAW.
4. Ali Bin Abi Thalib.
5. Husein Bin Ali.
6. Zaenal Abidin
7. Muhammad Al-Baqir.
8. Ja’far Ash-Shodiq.
9. Imam Musa Al-Kazhim.
10. Abu Hasan Ali Ar-Ridho
11. Ma’ruf Karkhi
12. Sari As-Saqoti
13. Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi
14. Abu Bakar Asy-Syibli
15. Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi
16. Abu Farazi At-Thurthusil
17. Abu Hasan Ayyub
18. Abu Said Al-Mubarok
19. Abdul Qodir Al-Jailani
20. Abdul Aziz
21. Muhammad Al-Hattak
22. Syamsudin
23. Syarifudin
24. Nurudin
25. Waliyyuddin
26. Hisyammuddin
27. Yahya
28. Abu Bakar
29. Abdurrahim
30. Utsman
31. Abdul Fattah
32. Muhammad Muraad
33. Syamsudin
34. Ahmad Khatib Sambas
35. Muhammad Kholil Bangkalan
Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan
Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam
maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad Syamsul Arifin, pada
saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu
dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan
tersebut.
Sementara itu, ada empat nama yang saya baca dalam tulisan tangan Syekh
Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru beliau sewaktu belajar di
Makkah Al-Mukarramah, yaitu:
1. Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat
Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.
2. Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai
catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau
menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.
3. Syekh Khalid Al-Azhari,
4. Syekh Al-Aththar
5. dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa
tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan
keterangan-keterangan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di
berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari
tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai
Thoha Kholili.
Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil
Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah
satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah
kitab “Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini
ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak
sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian
itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat
itu saya baru berusia 17 tahun.
Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar
Abdul Jabbar, dalam kitab “tarajim”nya, menulis bahwa beliau lahir pada
tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh
Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk
dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin
Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas
Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali
memiliki Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh
Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama
Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh
Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at
(riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh qira’at
(riwayat).
Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil
Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali
setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus
belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat
menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh
Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya
beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat
kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.
Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu
itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun.
Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh
Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah
bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun
sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.
Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat
kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang
pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat
di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan
beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga
Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah.
Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang
tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin
Affan.
Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan
dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau,
Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram.
maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian
menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.
Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai
pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang
ke Indonesia.
Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.
Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil
mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan
berkata: “Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian
langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada
tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali
Ar-Rahbini.
Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali bin
Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal kedatangan
tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.
Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau
terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil
menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas yang
pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi
kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh
Ali minum susu, Insya Allah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila
Syekh Ali minum air putih, Insya Allah beliau akan tinggal lama di
Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi,
Insya Allah beliau terus tinggal di Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh
Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih diantara
tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi, padahal
kopi Madura (Indonesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para santri
bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak mengerti
apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari adat
menyambut tamu.
Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum
Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih
lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi besar
dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu
beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.
Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali
juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian
berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali
menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun
menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil.
Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang
Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”. Semula
sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau
sudah banyak yang bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian
Syekh Ali marah dan berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu
tetap
harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama “Kholil”.
Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga
Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di
Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an
dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at
betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah
beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita
kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan
dalam bab ini.
Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang
istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan
dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli
(ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai
Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk
(ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul
(ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang
meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang
dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu
Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di
Kalimantan Barat.
SILSILAH NASAB
Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam
Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan
Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid
Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada
keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih
Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.
Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam)
“Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah
pernasaban bangsa Arab.
Jalur Sunan Kudus (Garis laki-laki)
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim
5.Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kiai Selase. Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kiai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di TubanSayyid Husain Jamaluddin Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, Indi
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Ampel (garis perempuan)
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10.Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14.Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Giri (garis perempuan)
1. Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.Kiai Abdul Karim.
5. Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9.Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11.Ali Khairul Fatihi / Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12.Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Gunung Jati (garis perempuan)
1 Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kiai Asror Karomah.
5.Sayyid Abdullah.
6.Sayyid Ali Al-Akba
7. Syarifah Khadijah.
8.Maulana Hasanuddin Dimakamkan di Banten.
9.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
10.Sayyid Abdullah Umdatuddin.
11. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
12.Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Jalur Basyaiban (garis perempuan)
1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2. Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4.Kiai Asror Karomah.
5.Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8.Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9.Sayyid Umar.
10.Sayyid Muhammad.
11.Sayyid Abdul Wahhab.
12.Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13.Sayyid Muhammad.
14.Sayyid Hasan At-Turabi.
15.Sayyid Ali.
16.Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18.Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan
sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama
baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi
Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam
menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis
laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang
memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Saya pernah menunjukkan
sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa
kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah
itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu
nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka
hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki
SEPULANG DARI MAKKAH
Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini
pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena
tulisannya rusak seperti terkena basah. Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita
bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara
tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).
Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru
mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada
masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di
Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil
mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain
untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari
banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat
bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai
penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh
Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas
beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli
membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati.
Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka
memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada
Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat
kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri
tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh
Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh
Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk
mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas
menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta
ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar
keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai
pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan
mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati
untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki
anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka
diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan
Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H
(+1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari
sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan.
Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai
menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada
riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati,
namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai,
banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar
Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di
Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau
tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan
beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil
yang ia kenal telah menjadi ulama besar.
Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di
Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main
kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke
Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang,
“mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah
Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak
binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang
yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama.
Demikian sampai tiga kali.
“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”
“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”
Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat
ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas,
bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun
langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia
kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan
meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan
Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.
PESANTREN DEMANGAN
Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai
Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H.
Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda
diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai
Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura,
saat itu beliau berusia 22 tahun.
Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih
berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung
dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk
melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan
hingga sembilan tahun.
Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang
mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun
menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil
sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: “Dari
Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam
di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di
sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke
pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.
Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi
sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya
yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang
sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke
masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata
bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab
Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah
tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih
dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian
juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat
di daerah Bondowoso.
Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil
MURID-MURID SYEKH KHOLIL
“Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun.
Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :
1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng
Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul
Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem
25.KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Hasbullah Abubakar Tebul,Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya)
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali
37. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
GENERASI KELUARGA
DAN PENERUS PERJUANGAN
SYEKH KHOLIL
ISTRI-ISTRI SYEKH KHOLIL
Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa
diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya
meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu
berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih
dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal
oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil
memiliki istri yang banyak.
Mereka adalah:
Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
Nyai Ummu Rahma.
Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
Nyai Kuttab.
Nyai Raden Ayu Nur Jati.
Nyai Mesi.
Nyai Sailah.
Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan
Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah
dan Nyai Mesi.
PUTRA-PUTRI SYEKH KHOLIL
Dengan Nyai Assek:
Ahmad (Meninggal masih kecil).
Nyai Khotimah.
KH. M. Hasan.
Dengan Nyai Ummu Rahma:
Nyai Rahma.
Dengan Nyai Arbi’ah:
KH. Imron.
Dengan Nyai Mesi:
KH.Badawi.
Nyai Asma’.
Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai
sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.
1. NY. KHOTIMAH BINTI KHOLIL
Nyai Khotimah menikah dengan Kiai Muhammad Thoha (kiai Muntaha) bin Kiai
Kaffal. Mereka masih sepupu, karena Kiai Muhammad Thoha adalah putra
Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). Kalau dari ayah, Kiai Muhammad Thoha
pernah keponakan dua pupu kepada Nyai Khotimah.
Pasangan Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Thoha memiliki tiga orang putra,
yaitu:
Kiai Ahmad.
Nyai Rahimah.
dan Kiai Abdul-Lathif.
Namun hanya Kiai Abdul Lathif yang memiliki keturunan.
Kiai Abdul Lathif memiliki putra tunggal bernama Kiai Kholili.
Kiai Kholili memiliki dua istri, yaitu Nyai Na’imah binti Imron bin Kholil dan
Nyai Nafisah binti abdul Karim bin Munawwar bin Kaffal + Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil).
a. Putra-putra KH. Kholili dengan Nyai Na’imah:
- Kiai Ahmad Juwaini. Mendirikan “Pesantren Al-Bukhoriyah” di Jhembhuh, bangkalan.
- Kiai Abdul Mu’thi. Mendirikan “Pesantren Sirojul Kholil” di kampung Dulkariman, Bangkalan.
- Kiai Abdul Mughni. Mendirikan pesantren di Sukalela Lama, Bangkalan.
b. Putra-putri KH. Kholili dengan Nyai Nafisah:
- Kiai Abdul Lathif. Mendirikan “Madrasah Al-Awwaliyah” di Pasar Kapoh, Bangkalan.
- Kiai Abdul Kholiq. Mendirikan sebuah Madrasah di kampung Goa, Trahgeh, Bangkalan.
- Nyai Khotimah (Kramat).
- Nyai Rosyidah. Menikah dengan Kiai Hifni Thoha, Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, Pamekasan.
-Kiai Abdul Hamid. Mengasuh Pesantren “Al-Muntaha Al-Kholili” Jangkibuan, pesantren pertama yang didirikan oleh Syekh Kholil.
-Kiai Thoha.
-Fatimah Az-Zahra’. Menikah dengan Kiai Abdul Malik Hasyim, Pesantren Al-Ishaqi II, Jhembhuh, Bangkalan.
- Nyai Rohimah (Bondowoso).
- Kiai Mujtaba.
- Kiai Syamsuddin.
- Kiai Muhammad Hasan
Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.
Oleh:
Alisastra Amijaya **(sumber tulisan dari Agus Pujianto, di status @kawulo Bani Mukhyiddin)
**(keterangan bukan diambil dari gambar foto diatas, itu hanya pinjam sampul dari sebuah buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar