Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, bagaimana cara mengganti puasa bagi ibu yg sedang hamil atau ibu yang sedang menyusui, karena saya pernah mendengar bahwa selain bayar fidyah, dia juga wajib menggantinya di hari yang lain? Mohon penjelasannya…Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Tidak
adanya nash baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang secara tegas menjelaskan
permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Sedikitnya ada 4 pendapat yang berkaitan dengan hukum mengganti puasa
bagi ibu hamil dan ibu yang menyusui:
1.
Sebagian ulama seperti Imam Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid berpendapat bahwa
kedua ibu tersebut harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah.
Mereka meng-qiyas-kan (menyamakan) ibu hamil atau ibu menyusui dengan orang
yang sakit. Sebagaimana diketahui, orang yang sakit dibolehkan untuk tidak
berpuasa tetapi dia harus menggantinya di hari lain, seperti disebutkan dalam QS.
Al-Baqarah (2): 186: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,
(maka dia boleh tidak berpuasa) dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa
untuk digantikannya pada hari-hari yang lain“.
2.
Sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa
keduanya hanya membayar fidyah dan tidak perlu mengganti puasa. Diriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas berkata: ”Bila ibu yang sedang hamil mengkhawatirkan
keselamatan dirinya dan ibu menyusui mengkhawatirkan keselamatan bayinya di
bulan Ramadhan, maka mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa tetapi harus
memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta tidak
perlu mengganti puasa di hari lain.”
3.
Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat bahwa bila ibu hamil atau ibu
menyusui hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya saja, maka dia hanya
diwajibkan untuk mengganti puasa di hari yang lain. Tetapi bila dia juga
mengkhawatirkan keselamatan bayinya, maka di samping harus mengganti puasa, dia
juga harus membayar fidyah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, keharusan
membayar fidyah itu disebabkan karena batalnya puasa itu disebabkan karena
menyelamatkan orang lain (bayi yang ada dalam kandungan atau bayi yang
disusui).
4.
Sementara itu, Imam Maliki membedakan antara ibu hamil dengan ibu menyusui.
Menurutnya, ibu hamil hanya diwajibkan mengganti puasa di hari lain dan tidak
perlu membayar fidyah. Sedangkan bagi ibu menyusui yang mengkhawatirkan
keselamatan bayinya, dia harus mengganti puasa dan juga membayar fidyah. Dalam
hal ini, Imam Maliki mengiyaskan secara murni ibu hamil dengan orang yang
sakit, tetapi beliau tidak melakukan hal yang sama terhadap ibu menyusui.
Agama Islam memberikan pengecualian
untuk ibu menyusui di bulan Ramadan. Mereka diperkenankan untuk tidak
menjalankan ibadah puasa, namun tetap harus menggantinya melalui dua cara,
yaitu mengganti dengan puasa di luar Ramadan atau membayar fidyah (barang penebus).
Dibolehkan tidak berpuasa bukan
berarti dilarang berpuasa. Tentu saja banyak juga ibu menyusui yang memilih
ikut menjalankan ibadah puasa selama Ramadan. Namun apa pengaruhnya dari segi
kesehatan?
Ahli gizi menyarankan sebaiknya tidak
usah berpuasa jika ibu yang sedang menyusui itu memang merasa tidak sehat atau
terganggu. Ini demi kebaikan ibu dan bayinya yang sedang disusui. “Tapi jika
memang merasa sehat, silakan berpuasa,”.
Menurut ahli gizi, hingga saat ini
belum ada dampak negatif bagi seorang ibu yang menyusui saat menjalankan puasa.
Tentu saja sepanjang hal itu dijalankan dalam kondisi tidak lemas dan asupan
tetap terjaga. “Sebab saat berpuasa komposisi zat gizi pada ASI tidak akan
berubah,”.
Jika memang ibu yang sedang menyusui
tetap ingin berpuasa di saat Ramadan, disarankan agar tetap makan tiga kali
sehari. Yakni saat berbuka, selepas tarawih, dan sahur. Selain itu, pola
gizinya harus seimbang, dengan tetap memperbanyak cairan yang masuk ke dalam tubuh.
“Jangan lupa juga, istirahat harus mencukupi,”.
Juga diungkapkan bahwa untuk
menambah protein, sebaiknya saat makan ditambah dengan suplemen berupa jus
buah, susu, atau madu. Karena kondisi kesehatan atau alasan medis bisa
dijadikan illat (motif penetapan hukum) diperbolehkannya ibu yang menyusui
untuk tidak berpuasa. “Jadi agama memang memperkenankan,”.
Oleh karena itu, penilaian
kedokteran atau medis dalam hal puasanya ibu menyusui menjadi sangat penting.
Jika memang mengganggu atau bisa mendatangkan dampak buruk terhadap
kesehatannya maupun kesehatan bayinya, BISA
JADI DASAR TIDAK BERPUASA.
Kendati demikian, sesuai ajaran
agama, puasanya harus diganti di luar bulan Ramadan, seperti dilakukan oleh
orang yang tidak mampu menjalankan puasa akibat larangan lain. Bisa juga, yang bekerja
diganti dengan membayar fidyah. “Yakni memberi makan fakir miskin sebagai
pengganti tidak berpuasa,”. Ketentuan minimumnya adalah dengan menghitung
jumlah puasa yang ditinggalkan. Jika satu hari, maka penebusnya diberikan
kepada satu fakir miskin. Begitu seterusnya.
Sedangkan seberapa besar yang harus
diberikan, katanya, soal fikih seperti ini banyak perbedaan pendapat. “Bisa
juga ukurannya sesuai dengan kebiasaan atau selayaknya yang kita makan. Jangan
dikurangi,”.
Cara membayar fidyah ini bisa
dilakukan setiap hari selama bulan Ramadan selepas waktu berbuka, bisa juga
dikumpulkan di satu hari usai Ramadan. Agama juga memperkenankan memberikan
makanan yang belum dimasak, misalnya berupa beras serta lauk-pauknya.
Namun mengingat bahwa membayar
fidyah tidak bisa digantikan dengan uang dalam jumlah tertentu. Jadi
bentuknya adalah kebutuhan pokok. “Seandainya mau mengganti dengan puasa
sebanyak yang ditinggalkan, itu lebih baik,”.
Ada sebuah penelitian yang dilakukan
di sebuah perkampungan untuk mengetahui pengaruh puasa bulan Ramadhan terhadap
kinerja metabolisme di kalangan ibu hamil dan menyusui.
Tim peneliti menemukan bahwa semua
ibu menyusui dan 90 % ibu hamil di perkampungan tersebut menjalankan ibadah
puasa selama satu bulan penuh. Pengukuran kadar glukosa serum, asam lemak
bebas, zat-zat keton, alanin, insulin, glukagon, dan level hormon
tiroksin (T3) pun dilakukan.
Sampel-sampel penelitian diambil
pada pukul 07.00 dan 19.00 dari 22 ibu hamil, 10 ibu menyusui, serta 10 ibu
lain yang tidak hamil dan tidak menyusui, sebagai pembanding. Hasilnya kemudian
dikomparasikan dengan pengukuran komponen-komponen ini yang dilakukan pada hari
di luar Ramadhan setelah para responden diinstruksikan untuk tidak mengkonsumsi
makanan selama semalaman (layaknya Ramadhan).
1- Tidak ada perbedaan antara
kadar komponen-komponen ini pada ibu menyusui dengan kadar serupa pada kelompok
pembanding, ibu yang tidak menyusui maupun hamil, meskipun ibu menyusui harus
memikul dua beban sekaligus, beban menyusui dan beban puasa yang rentang
waktunya
kadang bisa mencapai 19 jam.
2- Kadar glukosa pada
fase-fase akhir kehamilan adalah 0,3+01 ml/liter. Ini adalah kadar yang
terendah dibanding kadar glukosa serupa pada kelompok responden yang lain (ibu
menyusui dan ibu yang tidak hamil maupun menyusui).
3- Tingkat asam lemak bebas,
zat-zat keton, dan beta hidroksida butirat pada wanita hamil selama bulan
puasa adalah yang tertinggi. Sedangkan tingkat alaninnya pada masa- masa akhir
kehamilan lebih rendah dibanding pada masa- masa pertama kehamilan.
Para peneliti pun berkesimpulan,
bahwa cepatnya proses metabolisme pada masa-masa akhir kehamilan hanya terjadi
selama bulan Ramadhan. Sehingga muncullah beberapa efek starvasi. Mereka lantas
menunjuk faktor rendahnya pendapat ekonomi yang menimpa penduduk ini sebagai biang
keladi kekurangan gula darah (glukosa).
Kondisi fisik seorang ibu dalam menghadapi kehamilan dan
saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang
dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar
2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu
menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para
ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak
bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani
puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah
yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan
Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi
fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui
air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang
berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan
Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan
mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu
dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan
kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang
Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini
wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang
ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami
(ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya
khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan
mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini
tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan
menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka
sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan
(di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al
Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang
Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk
berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan
membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah
ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan
bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan
diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti
kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang
proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan
pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar
qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi
pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan
statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan
Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar
fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para
ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu,
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika
ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau
berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya
kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam
Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil
dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu)
membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang
mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh
Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk
mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil
pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa
untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama
berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at
yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada
kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu,
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu
ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau
menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang
ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma
yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena
hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat
Ramadhan.
Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat
kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun
ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita
menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang
kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan
suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan
bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan
membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati
tercinta. Wallahu a’alam.
kesimpulan pertanyaan saya Wajibkah ibu hamil itu membayar fidyah ketika tidak melaksanakan puasa di bulan suci ramadhan.....
BalasHapuswajibkah ibu menyusui itu membayar fidyah ktika tdk melaksanakan puasa di bulan suci ramadhan? bagaimakah cara membayarnya apakah harus sekaligus?
BalasHapusDitahun 2015 sy melahirkan dan saya menyusui anak saya sebulan penuh saya tidak berpuasa,pertanyaan saya kapan saya harus membayar fidyah awal puasa 2016 atau kapan dan bila dibayar dg beras harus berapa kg beras terima kasih
BalasHapusDitahun 2015 sy melahirkan dan saya menyusui anak saya sebulan penuh saya tidak berpuasa,pertanyaan saya kapan saya harus membayar fidyah awal puasa 2016 atau kapan dan bila dibayar dg beras harus berapa kg beras terima kasih
BalasHapus